Minggu, 13 Desember 2015

BENCI YANG DIBUMBUI


Benci, Mengapa tiba-tiba kita merasa benci? Benci akan suatu hal atau benci terhadap seseorang. Kenapa rasa benci itu bisa muncul? Menurut Wikipedia, Kebencian merupakan emosi yang sangat kuat dan melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, atau antipati untuk seseorang, sebuah hal, barang, atau fenomena. Hal ini juga merupakan sebuah keinginan untuk menghindari, menghancurkan atau menghilangkan. Kadangkala kebencian dideskripsikan sebagai lawan daripada cinta atau persahabatan; tetapi banyak orang yang menganggap bahwa lawan daripada cinta adalah ketidakpedulian.

Rasa benci itu muncul pasti ada penyebabnya, tidak mungkin tanpa suatu sebab rasa benci itu datang dengan sendirinya. Bisa karena kita merasa dikecewakan, marah, kesel, murka, dan akhirnya berujung pada kebencian. Rasa benci yang tak termaafkan itu bisa-bisa berakibat pada rasa dendam yang tak terkendali. Bila perasaan dendam yang tidak terkendali itu dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bisa-bisa memuncukan konflik yang dahsyat dan dapat berdampak buruk bagi orang lain yang ada di sekitarnya.

Peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Perancis, juga merupakan dampak dari sikap benci yang tidak terkendali, tanpa alasan yang jelas orang yang tidak bertanggung jawab tersebut sengaja melakukan bom bunuh diri dan akhirnya memakan korban warga sipil yang mungkin tidak tahu apa-apa. Jika perasaan benci ini tidak segera kita hilangkan akan ada lagi kejadian seperti yang sudah-sudah terjadi. Dan akan ada lagi korban yang sebenarnya mereka tidak tahu tentang permasalahan yamg terjadi.
Sebenarnya ada banyak permasalahan yang di akibatkan karena kebencian. Sepertinya rasa benci itu sangatlah mudah timbul, apalagi dengan adanya provokasi. Kejadian di Tolikara, Papua adalah salah satu contoh kejadian yang mempermainkan kebencian. Menurut penduduk yang tinggal disana, keadaan disana selama ini baik-baik saja, penduduk dengan beraneka ragam suku, agama, dan budaya dapat hidup saling berdampingan. Tetapi ada beberapa oknum yang mungkin dengan sengaja mengusik kedamaian disana. Agama, adalah sasaran mudah para oknum untuk mempermainkan kerusuhan dengan membumbuinya dengan rasa benci.

Kejadian bermula dari adanya surat Badan Pekerja Wilayah Tolikara Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Surat itu berisi larangan bagi umat Muslim untuk mengadakan sholat Idul Fitri di Tolikara, dikarenakan akan diselenggarakan seminar dan KKR Pemuda GIDI Internasional. Surat permohonan tersebut di sampaikan kepada Kapolres Tolikara, dan ‘mengkroscekkan’ dengan pihak GIDI. Dan ternyata ketua GIDI menolak surat tersebut, dengan kata lain surat yang dibuat tadi tidak resmi. Panitia penyelenggara seminar pun sudah mengetahui perihal penolakan surat tadi, dan memperbolehkan umat Muslim untuk tetap menjalankan sholat Ied. Tetapi masa yang kelihatannya sangat terorganisir tidak dapat terbendung, mereka tetap mengusir, melempari dan membakar rumah ibadah. Aparat keamanan sempat memberi peringatan untuk menghentikan kerusuhan, tetapi mereka justru semakin beringas. Setelah jatuh beberapa korban, masa tadi membubarkan diri tetapi mereka juga sempat membakar kios-kios di dekat  tempat kejadian.

Rasa benci ternyata sangatlah mudah di provokatori, yang sebenarnya hanya kesalahpahaman yang bisa terselesaikan dengan musyawarah tetapi dengan bumbu benci sangatlah mudah menjadi kerusuhan. Akhirnya beberapa perwakilan tokoh agam Muslim dan Nasrani membuat kesepakatan perdamaian, mereka saling memaafkan satu sama lain. Mereka juga menyampaikan duka bagi keluarga korban, membangun kembali rumah ibadah yang rusak dan menjaga, menghormati kebebasan menjalankan ibadah. Mereka juga ingin mengembalikan Tolikara yang dulu damai dan hidup berdampingan dengan tentram. Ini adalah salah satu contoh dimana kebencian dapat diprovokatori.

Terkadang timbul dalam benak kita, bagaimana menghilangkan rasa benci yang sudah teramat dalam? Hanya pribadi diri kitalah yang bisa mengendalikan dan menghapus rasa benci itu, karena senang, sedih, gembira, kecewa, iri, mencintai, menangis, semuanya itu hanya pribadi diri kita yang mengatur. Kebencian yang terlalu lama terpatri dalam pikiran kita pun dapat membuat semangat hidup kita menurun dan membuat kita tidak dapat berpikir dengan akal sehat. Apakah kita ingin menanamkan sikap benci terus menerus di dalam akal budi kita atau menghadirkan kasih dan cinta serta kedamaian dalam hati kita?

Marilah kita banyak berbuat kebaikan dengan menghadirkan selalu cinta dan kasih serta membuang jauh rasa benci.


Sumber   : Kerusuhan Tolikara – lipsus.kompas.com
Penulis   : Natalia Anindiya P.W.
Dosen     : G. Daru Wijiyoko

Akhir Tahun : Waktu Untuk Merenung


Tidak terasa kita telah memasuki bulan Desember, atau bulan kedua belas dan merupakan bulan terakhir tahun masehi. Itu berarti bulan depan, kita semua yang masih diberikan kemurahan oleh Tuhan akan memasuki tahun yang baru.

Bagi orang beriman, akhir tahun merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk menyambut kelahiran Putra Tuhan, Sang Pemakna Hidup kita, penjamin keselamatan seluruh umat manusia. Bagi orang beriman, akhir tahun juga merupakan kesempatan untuk menjadikan tahun yang akan berakhir ini sebagai tahun rahmat. Bagaimana caranya?

Pilihlah waktu yang cukup untuk diri sendiri, renungkanlah pengalaman demi pengalaman yang telah dijalani selama tahun ini. Kita bisa mengambil sudut sebagai pribadi, sebagai keluarga, sebagai komunitas, sebagai bangsa, atau sudut lainnya. Temukan dalam permenungan itu, bagaimana Tuhan berkarya atas hidup kita, atas keluarga kita, atas komunitas kita sepanjang tahun berjalan ini.

Hidup kita diasah dan terus diasah hingga tajam oleh pengalaman masa lalu, seperti kata pepatah “pengalaman adalah guru yang sangat berharga”, karenanya petiklah setiap pengalaman hidup kita itu, dan renungkanlah dengan mendalam, lalu kita ambil setiap hikmah yang bermanfaat, dan kita singkirkan kerikil-kerikil tajam yang menghambat. Segeralah bawa setiap penemuan kita itu ke dalam doa.

Terakhir, bangun komitmen yang nyata untuk diri kita, keluarga kita, komunitas kita, dan untuk orang miskin, orang yang yang pernah anda sakiti. Apa yang hendak kita lakukan? Bawalah dalam doa pula.

Tawaran ini tentu saja hanyalah sebuah cara, tetapi panggilan kita tetaplah sama, yakni menjadikan hidup kita indah dan penuh arti, sehingga hidup kita tidak akan sia-sia. Oleh karenanya marilah kita temukan makna hidup ini, sehingga jiwa kita akan bertepuk tangan dan bersorak sorai. Semoga bermanfaat. (***)