Sabtu, 21 November 2015

Apakah Kamu Beragama


Apakah kamu beragama? Pertanyaan itu pasti sering kita dengar dan jawaban yang paling banyak kita dengar adalah beragama. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah : Mengapa kamu beragama? Jawabannya cukup beragam, ada yang menjawab:

·         karena kewajiban sebagai seorang warga dari suatu negara,
·         karena suatu warisan dari orang tuanya
·         karena dapat menemukan rasa aman,
·         karena dapat menemukan makna hidupnya,

Dari berbagai alasan yang telah tersebut diatas, ternyata bila kita pelajari dengan lebih mendalam, mengandung makna penghayatan seseorang tersebut terhadap agama yang dianutnya.

  • Jika seseorang beragama karena suatu kewajiban saja,maka ia juga akan melaksanakan ajaran agamanya sebagai kewajiban saja.
  • Jika seseorang beragama karena warisan dari orangtuanya, maka orang tersebut akan melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh orang tuanya.
  • Jika seseorang beragama merasa aman, maka ia akan berusaha mencari perlindungan keamanan melalui agama yang dianutnya.
  • Jika seseorang beragama dapat menemukan makna hidupnya, maka orang tersebut akan terus melaksanakan ajaran agamanya sampai dapat menemukan makna hidupnya.
Apapun alasan kita beragama, tetapi kunci pokok dalam beragama harus didasarkan pada keyakinan bahwa Allah telah mencintai manusia, Dialah sumber cinta, dengan cinta-Nya Ia telah menyelenggarakan kehidupan bagi kita.

Jangan sia-siakan kebaikan Tuhan, oleh karenanya marilah kita berelasi dengan dekat dan mendalam terhadap kasih Allah itu, dengan melaksanakan dan menjalankan ajaran agama yang kita yakini, dengan sebaik-baiknya agar tujuan kita beragama dapat tercapai. (***)

Penulis : Natalia Anindiya
Dosen  : G. Daru Wijoyoko

Sabtu, 14 November 2015

Warisan Mgr. Johannes Pujasumarta


Berpulangnya Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang pada hari Selasa, 10 Nopember 2015 membuat umat katolik di Keuskupan Agung Semarang bersedih. Upacara Penghormatan terakhir selalu dihadiri oleh banyak orang, bahkan tidak hanya orang katolik saja, melainkan orang-orang yang berkeyakinan lain turut berduka atas kepergian Mgr. Johannes Pujasumarta menghadap Bapa di Surga.

Berita-berita di surat kabar cetak, media on line, ataupun media sosial juga memuat pula liputan upacara perayaan ekaristi di Gereja Katedral, di kapel Seminari Tinggi Kentungan, sampai dengan upacara pemakaman yang diadakan di Komplek Makam para imam diosesan Keuskupan Agung Semarang di Kentungan.

Meski kita bersedih, tetapi kita juga layak bersyukur atas warisan yang ditinggalkan oleh Bapak Uskup Mgr. Johannes Pujasumarta untuk kita semua. Warisan tersebut bukanlah berbentuk uang miliaran, sebidang tanah yang luas, emas berkilo-kilo, atau barang berharga lainnya. Tetapi warisan yang diberikan oleh Mgr. Johannes Pujasumarta adalah teladan yang beliau tunjukkan selama hidupnya untuk kita.  Sikap teladan itu diantaranya:

Ketaatan dalam Melayani
Teladan ketaatan Mgr Johannes Pujasumarta dapat kita lihat saat beliau berkenan menahbiskan Diakon Fransisco El Tara menjadi imam untuk Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 15 Oktober 2015 yang lalu. Dalam keadaan sakit, beliau tetap berkeinginan menahbiskan Diakon El Tara dengan didampingi oleh Mgr. Pius Riana Prabdi (Uskup Ketapang). Sebenarnya tim dokter tidak mengijinkan 100% karena melihat kondisi Mgr Johannes Pujasumarta yang kurang memungkinkan, tetapi melihat keinginan dan semangat yang kuat dalam diri monsignur, pada akhirnya tim dokter memberi lampu hijau kepada Mgr. Johannes Pujasumarta untuk menghadiri upacara pentahbisan itu. Semboyan “Duc in Altum” dan sikap seperti Burung Pelikan (Lambang Keuskupan Agung Semarang) benar-benar diimani oleh Mgr. Johannes Pujasumarta dalam penggembalaannya.

Kesederhanaan
Mgr. Johannes Pujasumarta tidak pernah berpenampilan yang super wah, dalam kesehariannya beliau selalu tampil sederhana. Bahkan menurut para imam, saat pertemuan-pertemuan bersama para imam, Mgr Johannes Pujasumarta lebih senang memakai kaos dan sandal seadanya. Menurut orang-orang yang dekat dengan beliau, Mgr Johannes Pujasumarta tidak pernah berubah, baik saat menjadi pastor, vikjend Keuskupan Agung Semarang, Uskup Bandung, maupun Uskup Keuskupan Agung Semarang sikapnya tetap sama, yaitu sederhana.

Berkawan dengan Siapa Saja
Mgr. Johannes Pujasumarta tidak memilih-milih dalam berkawan, dengan siapa saja Mgr. Johannes Pujasumarta mau berteman dan bersahabat. Baik melalui perjumpaan secara langsung ataupun melalui akun-akun yang dimilikinya di dunia maya. Mgr. Johannes Pujasumarta memang mencintai dunia maya, bahkan oleh rekan-rekan Uskup, beliau dijuluki sebagai “Uskup Internet Indonesia”.

Pasrah akan Kehendak Tuhan
Sikap pasrah itu ditunjukkan oleh Mgr Johannes Pujasumarta saat ia mengatakan, “Jangan meminta untuk kesembuhan saya, tetapi doakan saja yang terbaik untuk diri saya.” Ungkapan tersebut mungkin sangat sederhana, tetapi mengandung sikap pasrah dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk beliau.


Teladan-teladan yang ditinggalkan oleh Mgr. Johannes Pujasumarta untuk kita semua merupakan warisan yang sangat berharga dan melebihi harta duniawi yang bisa sewaktu-waktu hilang karena dicuri orang. Karenanya kita layak mencontoh teladan tersebut, dan berusaha menerapkan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Mgr. Johannes Pujasumarta semasa hidupnya.

Terima Kasih Mgr. Johannes Pujasumarta, atas warisan yang engkau berikan kepada kami.

* Natalia Anindiya

(Dosen Pengampu : G. Daru Wijoyoko)

Sabtu, 07 November 2015

BERCERMIN DARI ANAK-ANAK


Pernahkah anda mendengar lagu “Panggung Sandiwara”? Dalam syair lagu tersebut dikatakan “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah, ada peran watak, dan ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara? Mengapa kita bersandiwara?

Lagu tersebut kiranya tepat di jaman sekarang ini dimana banyak orang berpenampilan tidak seperti keadaannya, mereka dalam kehidupan kesehariannya seakan-akan seperti layaknya seorang aktor dan aktris yang dituntut untuk memerankan sesorang yang bukan dirinya.

Akibat gengsi dengan teman-temannya, ada yang berhutang kesana-kemari untuk dapat sejajar atau bahkan melebihi temannya itu. Atau demi mendapatkan seseorang yang diidam-idamkannya, mereka berupaya dengan segala cara untuk berpenampilan tajir (kaya), padahal keadaannya dia hidup susah (miskin), dan masih banyak contoh lainnya.

Apakah dengan berperan bukan sebagai dirinya akan membawa kedamaian dalam hidupnya? Atau memang perilaku seperti itu sekarang sudah menjadi treanding topic manusia modern yang hidup di jaman yang super canggih ini. Lantas, apakah yang akan mereka capai sesungguhnya? Apakah mereka tidak berpikir dampak yang akan terjadi dengan perilaku-perilaku “bohong” yang mereka perankan dalam kesehariannya?

“Topeng” yang selama ini dikenakan, pada akhirnya tentu akan rusak dan dengan sendirinya wajah asli kita yang nampak. Bila itu yang terjadi, mustahil kedamaian akan tercipta, yang terjadi adalah sebaliknya. Rasa kecewa, penyesalan, frustasi, dan yang lebih buruk lagi bisa saja terjadi.

Melihat realita ini saya lalu berandai-andai, alangkah indahnya dunia ini bila kita mau bersikap seperti anak kecil yang masih lugu dan polos. Cobalah kita perhatikan suasana kelas anak-anak Play Group, murid-murid itu mengungkapkan ekspresi dirinya yang sesungguhnya, tidak ada yang ditutup-tutupi, apa adanya. Suka bilang suka, tidak suka juga dikatakan tidak suka. Senang mereka tertawa, sedih mereka akan menangis.

Sebagai sharing saya akan ceritakan pengalaman kecil dari anak saya yang masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Sepulang sekolah dia bercerita bahwa ulangannya ada yang dicoret oleh gurunya karena jawabannya kurang lengkap, dia berkata, “Ulanganku to ada yang kurang lengkap tapi kok nilainya 100, harusnya kan 90 to ya.... Bu Guru tu pie to?”.  

Ungkapan itu mengajarkan kepada kita bahwa seorang anak kecil itu masih polos, dia tidak mengejar nilai, tetapi menampilkan sikap jujur yang pantas kita teladani.
Karenanya saya mengajak semuanya saja, untuk tidak bermain sandiwara, memakai topeng, ataupun sejenisnya, melainkan berpenampilanlah apa adanya, seperti halnya anak kecil yang tidak ada yang ditutup-tutupi, dengan menampilkan wajah asli mereka.


Mari kita singkirkan topeng-topeng palsu yang melekat dalam diri kita. (* Natalia Anindiya)

Dosen Pengampu   : G. Daru Wijoyoko